Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa Hukumnya Orang Menikah Tapi Sudah Hamil Duluan? Ini Penjelasannya

 


Apa Hukumnya Orang Menikah Tapi Sudah Hamil Duluan? Ini Penjelasannya

Apa Hukumnya Orang Menikah Tapi Sudah Hamil Duluan? Ini Penjelasannya

persoalan:

assalamu’alaikum, wr. wb. ustadz, nama aku suriadi, aku ingin nanya apa hukumnya orang nikah, namun sudah berbadan dua duluan? (dari 085245263xxx)

jawab:

wa’alaikumsalam wr. wb. bismillahirrahmanirahim.

kita hendak rinci jadi sebagian ulasan:

i. hukum menikahi perempuan/laki – laki pezina

yang diartikan pezina di mari merupakan yang benar zina jadi kebiasaannya (serupa pelacur/mucikari/pria hidung belang ). para ulama membagi hukumnya jadi 2 penggalan:

a. bila yang menikahi merupakan orang baik – baik (mukmin, shalih) , hingga hukumnya haram, kecuali sang pezina itu tobat dulu.

larangan ini bersumber pada dalil – dalil bagaikan berikut:
1. al – qur’an

al – maidah (5) ayat 5:

“pada masa ini dihalalkan untuk kalian (memakan santapan) yang lezat – lezat dan baik – baik. dan juga santapan (sembelihan) orang – orang pakar kitab itu merupakan halal untuk kalian, dan juga santapan (sembelihan) kalian merupakan halal untuk mereka (tidak salah kalian berikan makan kepada mereka). dan juga (dihalalkan untuk kalian mengawini) dengan perempuan – perempuan yang melindungi kehormatannya – di antara perempuan – perempuan yang beriman, dan juga pula perempuan – perempuan yang melindungi kehormatannya dari golongan orang – orang pakar kitab dulu daripada kalian apabila kalian beri mereka maskawinnya, lagi kalian (dengan trik yang demikian) , bernikah bukan berzina, dan juga bukan pula kalian mengambil mereka jadi perempuan – perempuan simpanan. ”

syaikh sayyid sabiq rahimahullah mengatakan:


لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة

“tidak halal untuk seseorang laki – laki menikahi perempuan pezina, dan juga tidak halal seseorang perempuan menikahi seseorang laki – laki pezina, kecuali bila dia bertaubat. ” sehabis itu syaikh sayyid sabiq menjadikan ayat di atas bagaikan dalil. tentang ayat di atas syaikh sayyid sabiq pula mengatakan:


أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان


“yakni sebetulnya allah sebagaimana ia menghalalkan yang baik – baik, dan juga santapan orang – orang yang beri angkatan laut (AL) kitab dari golongan yahudi dan juga nasrani, (hingga) ia menghalalkan menikahi perempuan yang melindungi kehormatan dari golongan mu’minat, dan juga pula perempuan yang melindungi kehormatan dari golongan pakar kitab, dengan kondisi kalau mereka bagaikan suami istri yang sebelumnya bersama melindungi kehormatan, tidak berzina, dan juga tidak sempat sebagi gundik (simpanan). ”

imam ibnu katsir mengatakan tentang ayat, “ dan juga (dihalalkan untuk kalian mengawini) dengan perempuan – perempuan yang melindungi kehormatannya – di antara perempuan – perempuan yang beriman, ” :

أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات


“yakni dihalalkan untuk kamu menikahi perempuan merdeka yang melindungi kehormatan dari golongan perempuan beriman. ”


imam abu ja’far ath thabari mengatakan tentang ayat tersebut:

أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن – أن تنكحوهن


“dihalalkan untuk kamu, wahai orang – orang beriman, wanita – wanita merdeka dari golongan beriman, buat kamu menikahi mereka. . ”


jadi, yang halal untuk orang baik – baik cumalah menikahi perempuan mu’minah yang melindungi kehormatannya, bukan pezina.

an nuur (24) ayat 3:


“laki – laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, ataupun wanita yang musyrik; dan juga wanita yang berzina tidak dikawini melainkan oleh pria yang berzina ataupun pria musyrik, dan juga yang demikian itu diharamkan atas orang – orang yang mukmin. ”















ayat ini jelas – jelas mengatakan kalau yang layak menikahi pezina merupakan pezina pula, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina ataupun musyrik. mereka pezina dan juga musyrik cuma layak dinikahi dengan pezina dan juga musyrik pula.















mengatakan syaikh sayyid sabiq rahimahullah tentang ayat ini:















ومعنى ينكح: يعقد.















وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك.















“makna dari ‘mengawini’ merupakan mengadakan akad. yang demikian itu diharamkan, ialah diharamkan atas orang – orang beriman menikahi orang – orang yang disifati bagaikan pezina ataupun musyrik, karna tidak terdapat yang menikahi mereka kecuali pezina dan juga musyrik pula. ”















2. as sunnah















عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ


أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ

وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ

فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا


dari amr bin syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, kalau martsad bin abi martsad Al ghanawi dulu ia bawa keluarganya ke mekkah, di mekkah terdapat seseorang pelacur bernama ‘anaq, ia merupakan sahabat dari martsad. ia (martsad) mengatakan: saya tiba kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian saya mengatakan: “wahai rasulullah, bolehkah saya nikah dengan ‘anaq? ”, ia mengatakan: rasulullah mendiamkan aku, hingga turunlah ayat “wanita pezina bukanlah menikah kecuali dengan pria pezina ataupun musyrik. ”


kemudian rasulullah memanggil aku dan juga membacakan kepada aku, kemudian bersabda: “jangan kau menikahinya! ”


hadits ini tegas melarang laki – laki baik – baik menikahi perempuan pezina (pelacur). dalam aunul ma’bud disebutkan:


فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا


“di dalamnya ada dalil, kalau tidak halal untuk laki – laki menikahi perempuan yang terang – terangan darinya perzinahan (pelacur). ”















hadits yang lain:















عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ















dari abu hurairah, kalau rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: pezina pria yang didera, bukanlah menikah kecuali dengan yang semisalnya. ”















dalam fiqhus sunnah disebutkan:















قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا.















وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزنا.















وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا.















mengatakan asy syaukani: ini merupakan watak yang telah terlihat dari kerutinan, ialah orang yang benar terbiasa berbuat zina. dan juga di dalamnya ada dalil kalau tidak halal untuk pria menikahi perempuan yang biasa melaksanakan zina, demikian pula tidak dihalalkan untuk perempuan menikahi pria yang terbiasa berzina.















mengatakan penulis aunul ma’bud:















قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا. وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا















“berkata Al ‘allamah muhammad bin ismail Al amir dalam subulus salam: “di dalam hadits ada dalil kalau haram untuk perempuan menikah dengan pria yang telah terlihat perzinahannya, dan juga penyifatannya dengan memperoleh dera, disebabkan zina telah jadi perihal yang dominan (kerutinan) menurutnya secara nyata. demikian pula untuk pria diharamkan menurutnya menikahi perempuan yang telah terlihat perzinahannya. ”















dari penjelasan ini, hingga jelaslah haramnya orang baik – baik, mukmin, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur).















b. hukum perkawinan 2 orang yang berzina, namun mereka bukan pelacur ataupun bukan pria hidung belang







ini yang amat banyak terjalin, mereka berzina karna rayuan setan, dan juga tidak sanggup melindungi diri, akibat pergaulan leluasa (baca: pacaran). tetapi, mereka tidaklah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina merupakan kerutinan serupa pelacur, mucikari, ataupun pria hidung belang. apakah mereka berdua boleh dinikahkan?















mengatakan imam asy syaukani rahimahullah:















وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك. وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز. قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك















“telah terjalin perbandingan komentar tentang kebolehan seseorang pria menikah dengan perempuan yang sempat berzina dengannya. imam asy syafi’i dan juga imam abu hanifah berkomentar: boleh. diriwayatkan dari ibnu umar, ibnu mas’ud, dan juga jabir mereka berkomentar: tidak boleh. mengatakan ibnu mas’ud: bila pria berzina dengan perempuan, kemudian ia menikahinya sehabis itu, hingga mereka berdua merupakan pezina selamanya! , ini pula komentar imam malik. ”















imam ibnu taimiyah, imam ibnul qayyim, dan juga imam ibnu hazm, pula memantapkan komentar yang mengharamkan.















sesungguhnya kalangan yang mengharamkan, pada kesimpulannya membolehkan pula, dengan ketentuan pelakunya sudah bertaubat.















imam ahmad membolehkan dengan ketentuan ia bertaubat, dan juga masa iddahnya tuntas. abu hanifah dan juga asy syafi’i berkomentar boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. terlebih lagi imam asy syafi’i membolehkan mengawini perempuan zina sekalipun lagi berbadan dua, karena berbadan dua semacam itu (karna pelakunya merupakan pria yang hendak menikahinya, pen) bukan sebab haramnya kawin.















c. perempuan yang berzina, kemudian ia menikah dan juga sang pria tidaklah pelakunya







ini berubah dengan permasalahan di atas, ini yang menikahi perempuan tersebut tidaklah pria yang sempat berzina dengannya namun, pria lain. bolehkah perkawinan mereka berdua?















mengatakan syaikhul islam ibnu taimiyah: “nikahnya orang zina itu haram sampai dia bertaubat, baik dengan pendamping zinanya ataupun dengan teman . inilah yang benar tanpa diragukan lagi. demikianlah komentar segolongan ulama salaf dan juga khalaf, di antara mereka ialah ahmad bin hambal dan juga yang lain.















namun mayoritas ulama salaf dan juga khalaf membolehkannya, ialah komentar imam yang 3, cuma aja imam malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak berbadan dua).















abu hanifah membolehkan akad saat sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila nyatanya ia berbadan dua, namun bila ia berbadan dua tidak boleh jima’ (ikatan tubuh) dahulu hingga ia melahirkan.















asy syafi’i membolehkan akad secara absolut akad dan juga ikatan tubuh, karna air mani zina itu tidak terhormat, dan juga hukumnya tidak dapat dihubungkan nasabnya, inilah sebab imam asy syafi’i.















abu hanifah membagikan rincian antara berbadan dua dan juga tidak berbadan dua, karna perempuan berbadan dua apabila dicampuri, hendak menimbulkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berubah dengan yang tidak berbadan dua. ”















ii. nikahnya perempuan hamil







wajib dirinci bagaikan berikut:















1. berbadan dua karna suaminya seorang diri, namun suaminya wafat ataupun meninggal, ia jadi janda. bolehkah menikah dan juga ia masih berbadan dua?















setuju kalangan muslimin seluruhnya, perempuan berbadan dua dan juga ia menjanda ditinggal mati suami ataupun cerai, cuma baru boleh nikah sehabis masa iddahnya tuntas, ialah sehabis kelahiran bayinya. tidak boleh menurutnya nikah kala masih berbadan dua, karna ‘iddahnya belum tuntas.















2. wanita berbadan dua karna berzina, bolehkah ia menikah?















bila yang menikahinya merupakan pria yang menghamilinya, hingga bagi imam asy syafi’i merupakan boleh. imam abu hanifah pula membolehkan namun tidak boleh menyetubuhinya hingga dia melahirkan.















imam ahmad mengharamkannya. begitu pula imam malik dan juga imam ibnu tamiyah. sebaliknya, bila yang menikahinya merupakan pria lain, hingga bagi imam ibnu taimiyah pula tidak boleh kecuali dia bertaubat, yang lain berkata boleh, sepanjang dia bertobat plus iddahnya tuntas (ialah hingga melahirkan) , inilah komentar imam ahmad. demikian. wallahu a’lam















wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.















sumber: dakwatuna. com















Berbadan dua di luar nikah dan juga permasalahan nasab anak zina







• adik wanita aku menikah tanpa persetujuan ayah. ia lari ke rumah pacarnya dan juga menikah dengan wali hakim (tanpa seizin ayah). pada dikala itu, dia sudah berbadan dua. yang mau aku tanyakan : apakah pernikahannya legal? gimana status anaknya?















• kerabat wanita aku memiliki ikatan dengan seorang yang tidak baik akhlaknya. keluarga telah memperingatkan supaya tidak menjalakan ikatan tersebut. ia senantiasa berkata sudah tidak lagi berhubungan. nyatanya saat ini dia sudah berbadan dua dan juga setelah itu menikah. gimana hukumnya? apakah sehabis anaknya lahir, dia wajib menikah lagi secara agama? gimana dengan status anaknya tersebut?















problem serupa permasalahan di atas banyak terjalin di tengah warga. yang tidak lain karna aspek keteledoran manusia, melaksanakan pelanggaran rambu – rambu agama. tidak syak, perkara ini setelah itu melebar dengan lahirnya kanak – kanak akibat perzinahan yang dilarang agama, nasab, waris, dan juga sebagainya.















perbuatan zina itu seorang diri, sebagaimana dipaparkan oleh ustadz abdul hakim bin amir abdat dalam novel menanti buah hati dan juga hadiah buat yang dinanti, dia menarangkan, zina merupakan dosa yang amat besar dan juga amat keji, dan seburuk – buruk jalur yang ditempuh oleh seorang; bersumber pada firman allah subhanahu wa ta’ala :















وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا















dan juga janganlah kalian mendekati zina, karna sebetulnya zina itu merupakan faahisah (perbuatan yang keji) dan juga seburuk – buruk jalur (yang ditempuh oleh seorang). (al israa`/17 : 32).















yang jadi perkara, bila zina telah terjalin, setelah itu lahirlah anak akibat perbuatan tersebut, bagaimanakah status kehamilan, perkawinan pezina dan juga gimana pula nasab anak yang di milikinya?















buat mengenali kasus ini, berikut kami nukil buah pena ustadz abdul hakim bin amir abdat, yang termaktub dalam novel dia, menanti buah hati dan juga hadiah buat yang dinanti, fashal 14, taman 102 – 129, cetakan iv th. 1425h/2005m, darul qolam, jakarta. mudah – mudahan berguna. (redaksi).















berbadan dua di luar nikah dan juga permasalahan nasab anak. dalam fasal ini terdapat sebagian peristiwa yang tiap – tiap berubah hukumnya, hingga kami (ustadz abdul hakim bin amir abdat, red) mengatakan:















1. peristiwa yang kesatu : apabila seseorang wanita (1) berzina setelah itu berbadan dua, hingga anak yang dilahirkannya merupakan anak zina dengan konvensi para ulama.















anak tersebut dinasabkan kepada ibunya (2) dan juga tidak dinasabkan kepada pria yang menzinai ibunya (ayah zinanya). tegasnya, ikatan nasab antara anak dengan ayahnya terputus.















demikian pula dengan hukum waris terputus dengan ayahnya, ia cuma mewarisi ibunya dan juga ibunya mewarisinya. demikian pula hak kewalian –kalau seseorang anak perempuan – terputus dengan ayahnya.















yang jadi wali nikahnya merupakan sultan (penguasa) ataupun wakilnya serupa qadhi (penghulu) (3).















dan juga tidak harus untuk ayahnya berikan nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina (4).















hendak namun, ikatan bagaikan mahram senantiasa terdapat tidak terputus walaupun ikatan nasab, waris, kewalian, nafkah terputus. karna, supaya bagaimanapun pula anak itu merupakan anaknya, yang terbentuk dari air maninya meski dari hasil zina. oleh karna itu haram menurutnya menikahi anak perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan anak perempuannya yang lahir dari perkawinan yang shahih. lebih luasnya lagi bacalah kitab – kitab di dasar ini:















1. Al mughni, ibnu qudamah (juz 9 perihal 529 – 530 tahqiq doktor abdullah bin abdul muhsin at turkiy).







2. majmu fatawa, ibnu taymiyyah (jilid 32 perihal. 134 – 142).







3. majmu syarah muhadzdzab (juz 15 perihal. 109 – 113).







4. Al ankihatul faasidah (perihal. 75 – 79 abdurrahman bin abdirrahman sumailah Al ahsal).















2. peristiwa yang kedua : apabila terjalin sumpah li’aan antara suami istri.







sebagaimana telah aku jelaskan dengan ringkas di fasal ketiga belas (ialah bab tentang gimana anak itu jadi pria ataupun wanita dan juga seragam dengan orang tuanya di dalam rahim, red) , hingga anak dinasabkan kepada ibunya. demikian pula tentang hukum waris dan juga nafkah dan hak kewalian. (5)















3. peristiwa yang ketiga : apabila seseorang istri berzina.







apabila seseorang istri berzina –baik dikenal suaminya (6) ataupun tidak – setelah itu ia berbadan dua, hingga anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya, bukan kepada pria yang menzinai dan juga menghamilinya dengan konvensi para ulama bersumber pada sabda nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam :















الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ















anak itu haknya (pria) yang mempunyai tempat tidur dan juga untuk yang berzina tidak memiliki hak whatever (atas anak tersebut). (hadits shahih riwayat bukhari (nomor. 6749) dan juga muslim (4/171) dari jalur aisyah dalam hadits yang panjang. dan juga bukhari (nomor. 6750 dan juga 6818) dan juga muslim (4/171) pula keluarkan dari jalur abu hurairah dengan ringkas serupa lafazh diatas)















iktikad sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas yakni kalau anak itu kepunyaan suami yang legal walaupun lahir dari hasil zina istrinya dengan orang (pria) lain. senantiasa anak itu jadi miliknya dan juga dinasabkan kepadanya. sebaliknya untuk pria yang menzinai istrinya tidak memiliki hak whatever terhadap anak tersebut.















peristiwa di atas di luar hukum li’aan dan juga perbedaannya yakni : bahwa hukum li’aan suami menuduh istrinya berzina ataupun menafikan anak yang dikandung istrinya di wajah hakim sampai – sampai dilaksanakan sumpah li’aan. dalam permasalahan li’aan ini, anak dinasabkan kepada istri baik tuduhan suami itu benar ataupun bohong. sebaliknya pada permasalahan di atas, tidak terjalin sumpah li’aan, walaupun suami mengenali kalau istrinya telah berzina dengan pria lain. ini diakibatkan suami tidak mengatakan tuduhannya ke wajah hakim sampai – sampai tidak mampu dilaksanakan sumpah li’aan. (8)















4. peristiwa yang keempat : apabila seseorang wanita berzina setelah itu berbadan dua, bolehkah dia dinikahi oleh pria yang menghamilinya dan juga kepada siapa dinasabkan anaknya?















jawabnya : boleh ia dinikahi oleh pria yang menzinainya dan juga menghamilinya dengan konvensi (ijma’) para pakar fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh imam ibnu ‘abdil bar yang dinukil oleh Al hafizh ibnu hajar di kitabnya fat – hul baari (juz 9 perihal. 157 di penggalan kitab nikah bab: 24, hadits: 5105) (9). buat lebih jelasnya lagi, marilah kita simaklah fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga seterusnya:















kesatu : fatwa abu bakar ash shidiq.







ibnu umar mengatakan :







kala abu bakar ash shiddiq lagi berposisi di masjid seketika tiba seseorang pria, kemudian abu bakar mengatakan kepada umar, “berdirilah dan juga perhatikanlah urusannya karna sebetulnya ia memiliki urusan (berarti). ”















kemudian umar berdiri menghampirinya, setelah itu pria itu mencerahkan urusannya kepada umar, “sesungguhnya saya kehadiran seseorang tamu, kemudian ia berzina dengan anak perempuanku! ? ” kemudian umar memukul dada orang tersebut dan juga mengatakan, “semoga allah memburukkanmu! tidakkah engkau tutup aja (rahasia zina) atas anak wanita itu! ”















setelah itu abu bakar memerintahkan supaya dilaksanakan supaya dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (pria dan juga wanita yang berzina). setelah itu dia menikahkan keduanya kemudian dia memerintahkan supaya keduanya diasingkan sepanjang satu tahun.







(diriwayatkan oleh imam ibnu hazm di kitabnya Al muhalla juz 9 perihal. 476 dan juga imam baihaqiy di kitabnya sunanul kubra (juz 8 perihal. 223) dari jalur ibnu umar). (10)















kedua: fatwa umar bin khattab







fatwa abu bakar di atas sekalian jadi fatwa umar terlebih lagi fatwa para shahabat. ini diakibatkan kalau fatwa dan juga keputusan abu bakar terjalin di hadapan para shahabat (11) ataupun dikenal oleh mereka spesialnya ‘umar. dan juga seluruh para shahabat diam menyetujuinya dan juga tidak terdapat seseorang juga di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. seluruh ini menampilkan telah terjalin ijma’ di antara para shahabat kalau wanita yang berzina setelah itu berbadan dua boleh terlebih lagi wajib dinikahkan dengan pria yang menzinainya dan juga menghamilinya. oleh karna itu kita memandang para shahabat berfatwa serupa di atas di antara lain umar bin khattab kala dia jadi khalifah sebagaimana riwayat di dasar ini:















abu yazid Al makkiy mengatakan, “bahwasanya terdapat seseorang pria nikah dengan seseorang wanita. dan juga wanita itu memiliki seseorang anak wanita yang bukan (anak kandung) dari pria (yang baru nikah dengannya) dan juga pria itu juga memiliki seseorang anak pria yang bukan (anak kandung) dari wanita tersebut, (ialah tiap – tiap bawa seseorang anak, yang pria bawa anak pria dan juga yang wanita bawa anak wanita).















kemudian pemuda dan juga anak wanita tersebut melaksanakan zina sampai – sampai nampaklah pada diri wanita itu kehamilan. hingga tatkala umar tiba ke makkah, diajukanlah peristiwa itu kapada dia. kemudian umar bertanya kepada keduanya dan juga keduanya mengakui (telah berbuat zina). setelah itu umar memerintahkan buat mendera keduanya (dilaksanakan hukum had) (12). umar amat mau mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu pernikahan) hendak namun anak muda itu tidak ingin. ”







(dikeluarkan oleh imam baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih).















ketiga : fatwa abdullah bin mas’ud:







dari hammaam bin harits bin qais bin amr an nakha’i angkatan laut (AL) kufiy :















عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ فِي الرَّجُلِ يَفْجُرُ باِلْمَرْأَةِ ثُمَّ يُرِيْدُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ















maksudnya : dari hammaam bin harits din qais bin amr an nakha’i Al kufiy dari abdullah bin mas’ud tentang, ”seorang pria yang berzina dengan seseorang wanita setelah itu pria itu bakal menikahi wanita tersebut? ’















jawab ibnu mas’ud, “tidak kenapa yang demikian itu. ”







(dikeluarkan oleh imam baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang shahih atas ketentuan muslim)















dari ‘alqamah bin qais (dia mengatakan) : sebetulnya telah tiba seseorang pria kepada ibnu mas’ud. kemudian pria itu bertanya, ”seorang pria berzina dengan seseorang wanita setelah itu keduanya bertaubat dan juga berbuat kebaikan, apakah boleh pria itu menikah dengan wanita tersebut? ” setelah itu ibnu mas’ud membaca ayat ini:















ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ















setelah itu sebetulnya rabb – mu kepada orang – orang yang mengerjakan kejahatan dengan kebodohan (13), setelah itu seusai itu mereka bertaubat dan juga mereka berbuat kebaikan, sebetulnya rabb – mu seusai itu maha pengampun (dan juga) maha penyayang. (an nahl: 119)















mengatakan alqamah bin qais, ”kemudian ibnu mas’ud mengulang – ulang ayat tersebut berulang kali hingga orang yang bertanya itu percaya kalau ibnu mas’ud telah membagikan keringanan dalam permasalahan ini (ialah dia membolehkannya). ” dikeluarkan oleh imam baihaqiy (7/156). setelah itu imam baihaqiy (7/156) pula meriwayatkan dari jalur lain yang semakna dengan riwayat di atas, hendak namun di riwayat ini ibnu mas’ud membaca ayat : (14)















وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ















dan juga ia lah (allah) yang menerima taubat dari hamba – hamba – nya dan juga memaafkan dari kesalahan – kesalahan (mereka) dan juga ia mengenali apa – apa yang kalian kerjakan. (asy syuura : 25). (15)















dalam sebagian riwayat ini ada ekstra: sehabis ibnu mas’ud membaca ayat di atas dia mengatakan, ”hendaklah ia menikahinya! ”















keempat : fatwa ibnu umar:







ibnu umar sempat ditanya tentang seseorang pria yang berzina dengan seseorang wanita, apakah boleh ia menikahinya? jawab ibnu umar, “jika keduanya bertaubat dan juga keduanya berbuat kebaikan (ialah beramal shalih) ”. (dikeluarkan oleh imam ibnu hazm di Al muhalla juz 9 perihal. 475).















kelima : fatwa jabir bin ‘abdullah :







mengatakan jabir bin ‘abdullah, “apabila keduanya bertaubat dan juga berbuat kebaikan, hingga tidak kenapa (tidak salah dilangsungkan perkawinan di antara keduanya) –yakni tentang pria yang berzina dengan seseorang wanita setelah itu ia mau menikahinya -. ” (dikeluarkan oleh imam abdurrazzaq (7/202) yang semakna dengan riwayat di atas).













keenam : fatwa ibnu abbas:







mengatakan ubaidullah bin abi yazid, “aku sempat bertanya kepada ibnu abbas tentang seseorang pria yang berzina dengan seseorang wanita bolehkah ia menikahinya? ” jawab dia, “ya, karna (nikah itu) perbuatan halal. ” (dikeluarkan oleh baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih. ) (16)















dari ikrimah dari ibnu abbas : tentang seseorang pria yang berzina dengan seseorang wanita setelah itu seusai itu ia menikahinya? dia mengatakan, “yang kesatu itu zina sebaliknya yang terakhir nikah dan juga yang kesatu itu haram sebaliknya yang terakhir halal. ” (dikeluarkan baihaqiy (7/155). dan juga dalam riwayat yang lain pula dari jalur ikrimah terdapat ekstra, ”tidak salah (ialah menikahinya).















mengatakan said bin jubair : ibnu abbas sempat ditanya tentang seseorang pria dan juga seseorang wanita yang tiap – tiap dari keduanya telah memegang yang lain dengan trik yang haram (ialah keduanya telah berzina) , setelah itu nyatalah (kehamilan) untuk wanita tersebut kemudian pria itu menikahinya? jawab ibnu abbas, ”yang kesatu itu zina sebaliknya yang kedua nikah. ” (dikeluarkan oleh imam baihaqiy (3/267 dengan sanad yang hasan).















mengatakan atha bin abi rabah : mengatakan ibnu abbas tentang pria yang berzina dengan seseorang wanita setelah itu ia bakal menikahinya, “yang petama dari urusannya itu merupakan zina, sebaliknya yang terakhir nikah. ” (dikeluarkan abdurrazzaq (7/202) )















dari thawus, dia mengatakan: ditanyakan kepada ibnu abbas, “seorang pria memegang wanita dengan trik yang haram (ialah zina) , setelah itu ia menikahinya? ” jawab dia, “itu baik –atau dia mengatakan – itu lebih bagus. ” (dikeluarkan abdurrazzaq (7/203) )















demikain pula fatwa para tabi’in serupa said bin musayyab, said bin jubair, az zuhri dan juga hasan Al bashri dan juga lain – lain ulama. (baihaqiy (7/155) dan juga abdurrazzaq (7/203 – 207) )















dari keterangan – keterangan di atas kita mengenali :







kesatu : telah terjalin ijma’ ulama yang didahului oleh ijma’ – nya para shahabat tentang permasalahan bolehnya wanita yang berzina setelah itu berbadan dua dinikahi oleh pria yang menzinai dan juga menghamilinya.















kedua : mereka juga membagikan ketentuan supaya keduanya bertaubat dan juga berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan juga membenci perbuatan keduanya.















ada juga menimpa hukuman untuk yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya merupakan pemerintah bukan orang perorang ataupun kelompok perkelompok.















oleh karna di negara kita ini sebagaimana negeri – negeri islam yang yang lain kecuali saudi arabia tidak dilaksanakan hukum – hukum allah subhanahu wa ta’ala serupa hukum had dan juga lain – lain, ini tidak membatasi taubatnya orang yang ingin bertaubat, demikian pula nikahnya 2 orang yang berzina.















cukuplah untuk keduanya bertaubat dan juga beramal shalih. langsungkanlah perkawinan karna yang demikian itu amat bagus sekali sebagaimana dikatakan ibnu abbas. terlebih lagi pria yang menzinai dan juga menghamili seseorang wanita lebih berhak terhadap wanita tersebut saat sebelum teman (18) dengan ketentuan keduanya ingin dan juga ridha buat nikah.















apabila salah satunya tidak ingin hingga janganlah dituntut hatta wanita tersebut telah berbadan dua (19).















ini, setelah itu persoalan kedua kepada siapakah anak tersebut di – nasab – kan?















jawabnya : anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada pria yang menzinai dan juga menghamili ibunya (ayah zinanya) meski kesimpulannya pria itu menikahi ibunya dengan legal. dan juga di dalam permasalahan yang serupa ini –dimana wanita yang berzina itu setelah itu berbadan dua kemudian dinikahi oleh pria yang menzinai dan juga menghamilinya – tidak mampu dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang kemudian, “anak itu haknya (pria) yang mempunyai tempat tidur (suami yang legal) dan juga untuk yang berzina tidak memiliki hak whatever (atas anak tersebut). ”















ini diakibatkan karna pria itu menikahi wanita yang ia zinai dan juga ia hamili sehabis wanita itu berbadan dua bukan sebelumnya, walaupun demikian pria itu senantiasa dikatakan bagaikan ayah dari anak itu apabila dilihat kalau anak tersebut terbentuk dengan karena air maninya hendak namun dari hasil zina. karna dari hasil zina inilah hingga anak tersebut dikatakan bagaikan anak zina yang ayahnya tidak memiliki hak whatever atasnya dari perihal nasab, waris, dan juga kewalian dan juga nafkah setimpal denga zhahir – nya penggalan akhir dari hadits di atas ialah, “… dan juga untuk (orang) yang berzina tidak memiliki hak whatever (atas anak tersebut). ”















berubah dengan anak yang lahir dari hasil perkawinan yang legal, hingga nasab – nya kepada ayahnya demikian pula tentang hukum waris, wali dan juga nafkah tidak terputus sama sekali. karna agama yang mulia ini cuma menghubungkan anak dengan ayahnya apabila anak itu lahir dari perkawinan yang legal ataupun lebih jelasnya lagi wanita itu berbadan dua dari perkawinan yang legal bukan dari zina. wallahu a’lam. (20)















sebagian orang di negara kita ini terdapat yang berkata : tidak boleh wanita yang berbadan dua lantaran zina itu dinikahi hatta oleh pria yang menzinai ataupun menghamilinya hingga wanita itu melahirkan bersumber pada keumuman firman allah subhanahu wa ta’ala :















وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ















dan juga perempuan – perempuan yang berbadan dua itu ‘iddah mereka hingga mereka melahirkan. (ath thalaq: 4)















kami jawab : trik pengambilan dalil serupa di atas sama sekali tidak pas dalam menempatkan keumuman ayat dan juga condong kepada pemaksaan dalil.















kesatu : ayat di atas buat wanita yang berbadan dua dari hasil nikah bukan buat perempuan – perempuan yang berbadan dua dari hasil zina. karna di dalam nikah itu ada thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan juga kewalian. sebaliknya di dalam zina tidak terdapat seluruhnya itu tercantum tidak terdapatnya ‘iddah.















inilah perbandingan yang mendasar antara perkawinan dengan perzinaan. ayat di atas senantiasa di dalam keumumannya terhadap perempuan – perempuan yang berbadan dua di – thalaq suaminya, hingga ‘iddah – nya hingga ia melahirkan setimpal keumuman ayat ia atas walaupun ayat yang lain (Al baqarah : 234) menegaskan kalau perempuan – perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari.















hendak namun wanita tersebut kala suaminya meninggal dalam kondisi berbadan dua hingga keumuman ayat di ataslah yang digunakan. ataupun ayat di atas senantiasa di dalam keumumannya oleh sebagian ulama terhadap wanita yang berzina kemudian berbadan dua setelah itu dinikahi oleh pria yang bukan menghamilinya sebagaimana hendak tiba keterangannya di peristiwa kelima, wallahu a’lam.















kedua : telah terjalin ijma’ shahabat berbarengan para ulama tentang bolehnya untuk seseorang pria menikahi wanita yang ia hamili lantaran zina.















bacalah keterangan – keterangan kami di wajah mengiringi apa yang telah dikatakan oleh imam ibnu abdil bar kalau dalam perihal ini telah terjalin ijma’ ulama. dan juga anehnya tidak terdapat seseorang juga di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas buat melarang ataupun mengharamkannya kecuali sehabis wanita itu melahirkan anaknya! ?















apakah kita ingin berkata kalau kita ini lebih pintar trik berdalilnya dari para shahabat dan juga seterusnya?















5. peristiwa yang kelima: apabila seseorang wanita berzina setelah itu ia berbadan dua, hingga bolehkah ia dinikahi oleh pria yang tidak menghamilinya? dan juga kepada siapakah dinasabkan anaknya?















jawabnya : dalam perihal ini para ulama kita telah berselisih jadi 2 madzhab. madzhab yang kesatu berkata boleh dan juga halal dinikahi dengan sebab kalau wanita tersebut berbadan dua karna zina bukan dari hasil nikah. sebagaimana kita tahu kalau syara’ (agama) tidak menyangka sama sekali anak yang lahir dari hasil zina serupa terputusnya nasab dan juga lain – lain sebagaimana sebagian kali kami telah jelaskan di wajah. oleh karna itu halal menurutnya menikahinya dan juga menyetubuhinya tanpa wajib menunggu wanita tersebut melahirkan anaknya.















inilah yang jadi madzhabnya imam syafi’iy dan juga imam abu hanifah. hanyasanya abu hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi hingga wanita tersebut melahirkan.















ada juga madzhab kedua berkata haram dinikahi hingga wanita tersebut melahirkan beralasan kepada sebagian hadits :















hadits kesatu:















عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ















maksudnya : dari abu darda`, dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya dia sempat melewati seseorang wanita (21) yang lagi berbadan dua tua sudah dekat waktu melahirkan di wajah pintu kemah. kemudian dia bersabda, ”barangkali ia (22) (ialah pria yang mempunyai tawanan (23) tersebut) ingin menyetubuhinya! ? ”







jawab mereka, “ya. ”







hingga bersabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “sesungguhnya saya berkeinginan buat melaknatnya dengan satu laknat yang hendak masuk bersamanya ke dalam kuburnya (24) gimana ia mewarisinya sementara itu ia tidak halal menurutnya, gimana ia menjadikannya bagaikan budak sementara itu ia tidak halal menurutnya! ? ” (25) (hadits shahih riwayat muslim 4/161).















hadits kedua:















عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسَ لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً















maksudnya : dari abu said Al khudriy dan juga ia memarfu’kannya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau dia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan – tawanan perang authaas (26), “janganlah disetubuhi wanita yang berbadan dua hingga ia melahirkan dan juga yang tidak berbadan dua hingga satu kali haid. ” (hadits riwayat abu dawud (nomor. 2157) , ahmad (3/28, 62, 87) dan juga Ad darimi (2/171. ) )















hadits ketiga:















عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِينَا خَطِيبًا قَالَ أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَبِيعَ مَغْنَمًا حَتَّى يُقْسَمَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَرْكَبْ دَابَّةً مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِيهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَلْبَسْ ثَوْبًا مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَخْلَقَهُ رَدَّهُ فِيهِ















maksudnya : dari ruwaifi’ Al anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah – dia mengatakan: ada juga sebetulnya saya tidak berkata kepada kalian kecuali apa – apa yang saya dengar dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari hunain, dia bersabda, “tidak halal untuk seseorang yang beriman kepada allah dan juga hari akhir buat menyiramkan air (sperma) nya ke tumbuhan (27) teman –yakni menyetubuhi wanita hamil – (28).















dan juga tidak halal untuk seseorang yang beriman kepada allah dan juga hari akhir buat menyetubuhi wanita dari tawanan perang hingga wanita itu bersih. dan juga tidak halal untuk orang yang beriman kepada allah dan juga hari akhir buat menjual harta rampasan perang hingga dibagikan.















dan juga benda siapa yang beriman kepada allah dan juga hari akhir hingga janganlah ia menaiki kendaraan dari harta fa – i (29) kalangan muslimin sampai – sampai apabila fauna tersebut telah lemah dia baru mengembalikannya. dan juga benda siapa yang beriman kepada allah dan juga hari mkhir hingga janganlah dia mengenakan baju dari harta fa – i kalangan muslimin sampai – sampai apabila baju tersebut telah rusak dia baru mengembalikannya. ” dikeluarkan oleh abu dawud (nomor. 2158 dan juga 2159) dan juga ahmad (4/108/109) dengan sanad hasan.















dan juga imam tirmidzi (nomor. 1131) meriwayatkan pula hadits ini dari jalur yang lain dengan ringkas cuma pada penggalan kesatu aja dengan lafazh:















مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ















maksudnya : benda siapa yang beriman kepada allah dan juga hari akhir, hingga janganlah ia menyiramkan air (sperma) nya ke anak teman (ke anak yang lagi dikandung oleh wanita yang berbadan dua oleh teman ).















inilah yang jadi madzhab – nya imam ahmad dan juga imam malik. dan juga madzhab yang kedua ini lebih kokoh dari madzhab yang kesatu dan juga lebih mendekati kebenaran. wallahu a’lam!















ada juga permasalahan nasab anak ia di – nasab – kan kepada ibunya tidak kepada pria yang menzinai dan juga menghamili ibunya dan juga tidak pula kepada pria yang menikahi ibunya sehabis ibunya melahirkannya. ataupun dengan kata lain dan juga tegasnya anak yang lahir itu merupakan anak zina!















bacalah 2 permasalahan di peristiwa yang kelima ini di kitab – kitab:







1. Al mughni, ibnu qudamah juz 9 perihal. 561 s/d 565 tahqiq doktor abdullah bin abdul muhsin at turky.







2. Al majmu syarah muhadzdzab juz 15 perihal. 30 – 31.







BACA JUGA:







JANGAN SERING TIDUR DENGAN MENGHIDUPKAN KIPAS ANGIN, INI BAHAYANYA







WAJIB BACA ! Hei Suami Jangan Takut Duitmu Habis Bila Diberikan Pada Istri Anak, Karena yang Akan Terjadi Justru Sebaliknya







Suami Baca : 9 Kewajiban Suami Pada Saat Istri Mengandung







3. Al ankihatul faasidah (perihal. 255 – 256).







4. fatawa Al islamiyyah juz 2 perihal. 353 – 354 dan juga 374 – 375 oleh syaikh bin baaz dan juga syaikh utsaimin dan juga lain – lain.















(disalin dari majalah as – sunnah edisi 7 – 8/tahun x/1427h/2006m diterbitkan yayasan lajnah istiqomah surakarta, jalan. solo – purwodadi kilometer. 8 selokaton gondangrejo solo 57183 telp. 08121533647, 08157579296)







_______







footnote







(1). wanita ataupun janda.







(2). semisal fulan bin fulanah ataupun fulanah binti fulanah.







(3). Al muhalla ibnu hazm juz 10 perihal. 323 permasalahan 2013. Al majmu syarah muhadzdzab juz 15 perihal. 112. majmu fatawa ibnu taimiyyah 34/100.







(4). tidak harus maknanya tidak berdosa bahwa ia tidak berikan nafkah, hendak namun tidak pula terlarang menurutnya buat berikan nafkah. ini berubah dengan anak dari perkawinan yang shahih, berdosa untuk ayah bahwa ia tidak berikan nafkah kepada anak – anaknya.







(5). fat – hul baari (nomor. 5315). nailul authar juz 7 perihal 91 dan juga seterusnya.







(6). dan juga suaminya tidak menuduh istrinya di wajah hakim sampai – sampai tidak terjalin hukum.







(7). walaupun anak yang dilahirkan istrinya itu mirip dengan pria yang menzinainya.







(8). apabila seseorang istri berzina ataupun suami berzina hingga nikah keduanya tidak batal (fasakh) bagi lazimnya pakar ilmu. Al mughni juz 9 perihal. 565).







(9). baca pula kitaabul kaafi fi fiqhi ahlil madinah (juz 2 perihal. 542) oleh imam ibnu abdil bar. tafsir fat – hul qadir (1/446 tafsir tulisan an nisaa ayat 23) oleh iam asy syaukani.







(10). baihaqiy meriwayatkan dari jalur yang lain kalau wanita tersebut berbadan dua (9/476) amati pula mushannaf abdur razzaq (12796).







(11). Almuhalla juz 9 perihal 476.







(12). diriwayatkan imam abdurrazzaq (mushannaf abdurrazzaq (7/203 – 204 nomor. 12793) kalau umar mengundurkan hukuman kepada anak wanita tersebut hingga melahirkan.







(13). kebodohan di mari artinya perbuatan maksiat yang dicoba dengan terencana. karna tiap orang yang maksiat kepada allah dikatakan jahil (tafsir ibnu katsir 2/590).







(14). imma peristiwa ini satu kali dan juga tiap – tiap rawi mengantarkan satu ayat dari 2 ayat yang dibaca ibnu mas’ud ataupun peristiwa di atas 2 kali. wallahu a’lam.







(15). amati riwayat yang semakna di mushannaf abdurrazzaq (7/205 nomor. 12798).







(16). angkatan laut (AL) mushannaf abdurrazzaq (7/203).







(17). idem (7/202) iktikad perkataan ibnu abbas diriwayat 1 s/d 4 yakni kalau zina itu haram sebaliknya nikah itu halal, hingga zina yang haram itu tidak dapat mengharamkan nikah yang benar halal. karna suatu yang haram tidak dapat mengharamkan suatu yang halal.







(18). abdurrazzaq (7/206 – 207).







(19). bacalah berulang riwayat umar bin khattab.







(20). fatawa islamiyah (juz 2 hlm. 353 dan juga 354, 374, 375). majmu’ fatawa syaikhul islam ibnu taimiyyah, 32/134 – 142. Al mughni, ibnu qudamah, juz 9, hlm. 529 – 530. Al muhalla (juz 10 hlm. 323). fat – hul bari (syarah hadits nomor. 6749). tafsir ibnu katsir tulisan an nisaa` ayat 23. dan juga lain – lain.







(21). wanita ini merupakan tawanan perang yang tertawan dalam kondisi berbadan dua tua.







(22). di mari terdapat lafazh yang lenyap yang takdirnya dia bertanya tentang wanita tersebut dan juga dijawab kalau wanita tersebut merupakan tawanan sang fulan.







(23). hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan perang walaupun tidak dinikahi. karna dengan jadi tawanan ia jadi kepunyaan orang yang menawannya ataupun kepunyaan orang yang diberi penggalan dari hasil ghanimah (rampasan perang) walaupun dia







masih jadi istri orang (baca: orang kafir). hingga, dengan jadi tawanan fasakh – lah (putuslah) nikahnya dengan suaminya. (baca syarah muslim juz 10 perihal. 34 – 36).







(24). hadits yang mulia ini juga jadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang berbadan dua hingga tuntas ‘iddah – nya ialah hingga melahirkan dan juga yang tidak berbadan dua ber – ‘iddah satu kali haidh sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya allah.







bersumber pada hadits yang mulia ini madzhab yang kedua keluarkan hukum tentang haramnya menikahi dan juga menyetubuhi wanita yang berbadan dua oleh teman hingga melahirkan.







(25). sabda dia shallallahu ‘alaihi wa sallam , “bagaimana ia mewarisinya … dan juga seterusnya, ” ialah gimana bisa jadi pria itu mewarisi anak yang dikandung oleh wanita tersebut sementara itu anak itu bukan anaknya. dan juga gimana bisa jadi ia menjadikan anaknya itu bagaikan budaknya sementara itu anak itu bukan anaknya. wallahu a’lam.







(26). authaas merupakan sesuatu tempat di thaif.







(27). ke rahim teman yang telah membuahkan anak.







(28). uraian ini imma dari ruwaifi’ ataupun dari yang selebihnya.







(29). harta fa – i harta yang didapat oleh kalangan muslimin dari orang – orang kafir tanpa peperangan. hendak namun imma kalangan kuffar menyerah saat sebelum berperang ataupun mereka melarikan diri meninggalkan harta – harta mereka.















sumber : https: //almanhaj. or. id/2099 – hamil – di – luar – nikah – dan – masalah – nasab – anak – zina. html















Menikahi perempuan berbadan dua, haruskah nikah ulang pasca kelahiran?















assalammualaikum p ustadz,















pak ustadz, aku ingin bertanya…















apabila terdapat seseorang perempuan dan juga laki – laki menikah, hendak namun dalam keadaan perempuan tersebut dalam kondisi berbadan dua, sehabis anaknya lahir apakah pendamping tersebut harus menikah lagi? ? ?















bahwa ” harus ” , gimana trik kita mengantarkan kepada pendamping tersebut supaya ingin menikah lagi, supaya mereka terasa tidak tersinggung? ? ?















soalna sepanjang ini kan yang mereka tau, bahwa sudah sempat menikah, itu sudah legal.















terima kasih sebelumnya pak ustadz















wassalammualaikum wr. wb















assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,















menikahi perempuan yang lagi dalam kondisi berbadan dua hukumnya terdapat 2. yang kesatu, hukumnya haram. yang kedua, hukumnya boleh.















yang hukumnya haram merupakan apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. perempuan itu dihamili oleha, sebaliknya yang menikahinya b. hukumnya haram sebagaimana sabda rasulullah saw:















tidak halal untuk orang yang beriman kepada allah dan juga hari akhir, ia menuangkan air (maninya) padatanaman teman . (hr abu daud)















yang diartikan dengan tumbuhan teman artinya haram melaksanakan persetubuhan dengan perempuan yang sudah dihamili teman . baik hamilnya karna zina ataupun juga karna ikatan suami isteri yang legal. pendeknya, apabila seseorang perempuan lagi berbadan dua, hingga haram buat disetubuhi oleh pria lain, kecuali pria yang menyetubuhinya.















dari dalil di atas kita memperoleh hukum yang kedua, ialah yang hukumnya boleh. ialah perempuan berbadan dua karna zina dinikahi oleh pendamping zina yang menghamilinya. hukumnya boleh dan juga tidak dilarang.















hingga seseorang pria menikahi pendamping zinanya yang terlanjur berbadan dua dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) merupakan benar – benardirinya bagaikan laki – lakiyang menghamilinya, bukan teman .















perbandingan komentar tentangkebolehan menikahinya















benar terdapat sebagian komentar yang mengharamkan menikahi perempuan yang sempat dizinainya seorang diri dengan berdalil kepada ayat al – quran al – kariem berikut ini:















pria yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, ataupun wanita yang musyrik; dan juga wanita yang berzina tidak dikawini melainkan oleh pria yang berzina ataupun pria musyrik, dan juga yang demikian itu diharamkan atas oran – orang yang mu’min. (qs. an – nur: 3)















tetapi bahwa kita cermat, warnanya yang mengharamkan cuma sebagian kecil aja. selainnya, kebanyakan para ulama membolehkan.















1. komentar jumhur (kebanyakan) ulama















jumhurul fuqaha’ (kebanyakan pakar fiqih) berkata kalau yang dimengerti dari ayat tersebut tidaklah mengharamkan buat menikahi perempuan yang sempat berzina. terlebih lagi mereka membolehkan menikahi perempuan yang pezina sekalipun. kemudian gimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?















para fuqaha mempunyai 3 sebab dalam perihal ini.















dalam perihal ini mereka berkata kalau lafaz ‘hurrima‘ ataupun diharamkan di dalam ayat itu tidaklah pengharaman tetapi tanzih (dibenci).







tidak hanya itu mereka beralasan kalau kalaulah benar diharamkan, hingga lebih kepada permasalahan yang spesial dikala ayat itu diturunkan.







mereka berkata kalau ayat itu telah dibatalkan syarat hukumnya (dinasakh) dengan ayat yang lain ialah:















dan juga kawinkanlah orang – orang yang sedirian di antara kalian, dan juga orang – orang yang layak dari hamba – hamba sahayamu yang lelaki dan juga hamba – hamba sahayamu yang wanita. bila mereka miskin allah hendak memampukan mereka dengan kurnia – nya. dan juga allah maha luas lagi maha mengenali. (qs. an – nur: 32).















komentar ini pula menggambarkan komentar abu bakar as – shiddiq dan juga umar bin al – khattab radhiyallahu ‘anhuma. mereka membolehkan seorang buat menikahi perempuan pezina. dan juga kalau seorang sempat berzina bukanlah mengharamkan pribadinya dari menikah secara syah.















komentar mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:















dari aisyah ra mengatakan, ” rasulullah saw sempat ditanya tentang seorang yang berzina dengan seseorang perempuan dan juga bernazar buat menikahinya, kemudian dia bersabda, ” awal mulanya perbuatan kotor dan juga kesimpulannya nikah. suatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal. ” (hr tabarany dan juga daruquthuny).















dan juga hadits berikut ini:















seorang bertanya kepada rasulullah saw, ” isteriku ini seseorang yang suka berzina. ” dia menanggapi, ” ceraikan ia!. ” ” tetapi saya cemas memberatkan diriku. ” ” bahwa begitu mut’ahilah ia. ” (hr abu daud dan juga an – nasa’i)















tidak hanya itu pula terdapat hadits berikut ini















pada waktu kemudian seseorang bertanya kepada ibnu abbas ra, ” saya melaksanakan zina dengan seseorang perempuan, kemudian saya dikasih rizki allah dengan bertaubat. sehabis itu saya mau menikahinya, tetapi orang – orang mengatakan (sembari menyitir ayat allah) , ” seseorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina pula ataupun dengan musyrik’. kemudian ibnu abbas mengatakan, ” ayat itu bukan buat permasalahan itu. nikahilah ia, apabila terdapat dosa hingga saya yang menanggungnya. ” (hr ibnu hibban dan juga abu hatim)















ibnu umar ditanya tentang seseorang pria yang berzina dengan seseorang perempuan, bolehkan sehabis itu menikahinya? ibnu umar menanggapi, ” ya, apabila keduanya bertaubat dan juga membetulkan diri. ”















2. komentar yang mengharamkan















sebagian kecil ulama terdapat yang berkomentar buat mengharamkan aksi menikahi perempuan yang sempat dizinainya seorang diri. amat tidak tercatat terdapat aisyah, ali bin abi thalib, al – barra’ dan juga ibnu mas’ud radhiyallahu ‘anhum ajmain.















mereka berkata kalau seseorang pria yang menzinai perempuan hingga ia diharamkan buat menikahinya. begitu pula seseorang perempuan yang sempat berzina dengan pria lain, hingga ia diharamkan buat dinikahi oleh pria yang baik (bukan pezina).















terlebih lagi ali bin abi thalib berkata kalau apabila seseorang isteri berzina, hingga wajiblah pendamping itu diceraikan. begitu pula apabila yang berzina merupakan pihak suami. tentu aja dalil mereka merupakan zahir ayat yang kami sebutkan di atas (an – nur: 3).















tidak hanya itu mereka pula berdalil dengan hadits dayyuts, ialah orang yang tidak memiliki kerasa cemburu apabila isterinya serong dan juga senantiasa menjadikannya bagaikan isteri.















dari ammar bin yasir kalau rasulullah saw bersabda, ” tidak hendak masuk surga suami yang dayyuts. ” (hr abu daud)















di antara tokoh di era saat ini yang turut mengharamkan merupakan syeikh al – utsaimin rahmahullah.

3. komentar pertengahan

sebaliknya komentar yang pertengahan merupakan komentar imam ahmad bin hanbal. dia mengharamkan seorang menikah dengan perempuan yang masih suka berzina dan juga belum bertaubat. kalaupun mereka menikah, hingga nikahnya tidak syah.

tetapi apabila perempuan itu sudah menyudahi dari dosanya dan juga bertaubat, hingga tidak terdapat larangan buat menikahinya. dan juga apabila mereka menikah, hingga nikahnya syah secara syar’i.

nampaknya komentar ini agak menengah dan juga setimpal dengan asas prikemanusiaan. karna seorang yang sudah bertaubat berhak buat dapat hidup wajar dan juga memperoleh pendamping yang baik.

kemudian, karna penegakan syariah dan juga hukum hudud cuma dapat dicoba oleh ulil amri (pemerintah) hingga hukum rajam, cambuk, dan juga yang lain belum dapat dicoba. bagaikan gantinya, tobat dari zina dapat dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan juga berniat buat tidak mengulangi.

dan juga hukum perkawinan di antara mereka sudah legal, asalkan telah terpenuhi ketentuan dan juga rukunnya. wajib terdapat ijab qabul yang dicoba oleh suami dengan bapak kandung sang perempuan diiringi keberadaan 2 orang saksi mata pria yang akil, baligh, merdeka, dan juga ‘adil.

tidak butuh diulang

bahwa kita mengunakan komentar kebanyakan ulama yang berkata perkawinan mereka legal, hingga karna akad nikah mereka sudah legal, sesungguhnya tidak terdapat lagi keharusan buat mengulangi akad nikah sehabis bayinya lahir. karna pada hakikatnya perkawinan mereka sudah legal. tidak butuh lagi terdapat perkawinan ulang.

buat apa diulang bahwa perkawinan mereka sudah legal. dan juga semenjak mereka menikah, pastinya mereka telah melaksanakan ikatan suami isteri secara legal. hukumnya bukan zina.

status anak

ada juga permasalahan status anak, bagi sebagian ulama, bila anak ini lahir 6 bulan sehabis akad nikah, hingga sang anak secara spontan legal dinasabkan pada bapaknya tanpa wajib terdapat ikrar tertentu.

tetapi bila sang jabang balita lahir saat sebelum bulan keenam sehabis perkawinan, hingga ayahnyadipandang butuh buat melaksanakan ikrar, ialah melaporkan secara tegas kalau sang anak benar betul – betul dari darah dagingnya. itu aja kelainannya.

apabila seseorang perempuan yang sempat berzina itu hendak menikah dengan teman , wajib dicoba proses istibra‘, ialah menunggu kepastian apakah terdapat bakal anak dalam perutnya ataupun tidak. masa istibra’ itu bagi para ulama merupakan 6 bulan. apabila dalam masa 6 bulan itu benar dapat diyakinkan tidak terdapat bakal anak, baru boleh ia menikah dengan teman .

sebaliknya apabila menikah dengan pria yang menzinahinya, tidak butuh dicoba istibra’ karna kalaupun terdapat bakal anak dalam perutnya, sudah dapat diyakinkan kalau bakal anak itu anak dari orang yang menzinahinya yang saat ini sudah formal jadi suami ibunya.